Mt. Papandayan Is My First Love


Sabtu, 6 Juni 2015 pukul 05.00 rombongan Batavia Publishing tiba di Camp David. Setiba di sana kita salat subuh dan sarapan. Rombongan yang tergabung dalam kegiatan Traveling Writing ini terdiri dari empat lelaki dan tiga perempuan.

Pukul 07.00. pendakian dimulai. Bang Ipank sebagai ketua tim. Luar biasa yang dilakukannya ini, menyemangati, mendukung, memastikan segalanya berjalan dengan baik, dan membawa peralatan paling banyak seperti: tenda, kompor, matras, bahan makanan, dan obat-obatan. Kak Aida sebagai pembimbing. Kasih sayangnya tiada tara. Perhatian banget. Lalu ada Kak Cimot yang sebenarnya juga perhatian tapi jarang ditunjukkan. Azmi yang supel dan bersahabat. Zul yang selalu mengulurkan tangannya untuk siapa saja yang kelelahan saat dalam perjalanan, dan Jamil yang selalu semangat foto-foto. Masing-masing punya karakter yang menjadi ciri khasnya. Saling melengkapi. Saling mengisi. Saling berbagi.

Kabut menemani saat langkah demi langkah dilalui. Trek terjal mulai ditapaki, udara dingin mulai menghampiri, dan angin lembut mulai merasuki tubuh ini. Di tengah-tengah perjalanan terjal dan berbatu, perasaanku mulai terasa sendu. Aku bertanya dalam hati, kamu sanggup?


Kami melewati trek menuju kawah belerang. Menanjak. Licin. Terjal. Bebatuan. Bau belerang yang sangat menyengat, menusuk hidung. Aku mengambil masker dari dalam tas dan memakainya untuk mengurangi bau tersebut. Rekomendasi dari Kak Aida. Di sini nafasku mulai tersengal. Dadaku mulai terasa sesak. Kak Aida menanyakan keadaanku, memastikan aku dalam keadaan baik-baik saja. Aku tampak loyo. Semangatku pudar. tiba-tiba aku teringat perkataan kakak di rumah, memastikan bahwa apa yang dia katakan itu hanya kebohongan. Aku mengutuknya dalam hati. Katanya landai? Apaanya yang landai? Dasar penipu!

“Dek, Papandayan itu landai lho. Treknya nggak berat untuk pendaki pemula. “ Ucapnya beberapa waktu lalu sebelum aku berangkat. Dengan modal pengetahuan seadanya aku memberanikan diri untuk mengikuti kegiatan ini. Aku mendaftarkan diri dengan semangat menggebu-gebu. Aku menanamkan erat-erat dalam ingatanku ucapan kakak tadi. Papandayan landai.

Mungkin bagi yang sudah terbiasa mendaki gunung, jalur di papandayan tidak begitu sulit. Apalagi untuk ukuran seorang lelaki (kakak) yang memiliki tubuh tinggi besar. Sementara tubuhku ringkih (beda 180 derajat). Sementara pendakian ini adalah pendakian pertama bagiku. Jadi aku merasa sangat tertipu oleh ucapan kakak. Teganya dia bilang treknya landai? Padahal taruhannya nyawa.

Harus pelan-pelan dan be carefull. Meskipun aku merasa sudah sangat hati-hati dalam melangkah, namun beberapa kali hampir terpeleset. Berkat uluran tangan dan dukungan teman-teman, aku bisa melewati semua rintangan ini. Terima kasih ya.

Ingin rasanya menumpahkan air mata ini ketika melihat tebing-tebing menjulang tinggi dan kokoh, warna-warni bebatuan yang sungguh menawan, uap-uap belerang yang keluar dengan suaranya yang khas dan bau yang menyengat. Aku memilih menahan tumpahan air mata ini yang seolah-seolah ikut merasakan kekaguman yang aku rasakan. Maha Besar Allah atas segala ciptaanNya.

Setelah tiba di pos kawah belerang kami istirahat sejenak, menghela nafas panjang, minum, dan tak lupa foto-foto. Jamil terlihat sangat antusias melakukan hobi narsisnya. Dan seperti biasa, aku yang sering dimintai memfoto dirinya. Bergaya macam foto model. Hahaha.

Perjalanan dilanjutkan. Sekitar setengah jam melewati trek menanjak dan sempit, akhirnya kami tiba di jalur trek terakhir, melewati sungai dengan aliran langsung mata air, banyak pendaki yang berhenti untuk meminum air sungai ini. Pemandangannya pun luar biasa, hamparan pepohonan hijau menjulang dari atas ke bawah, terlihat beberapa pendaki yang masih berada di bawah.

Beberapa ratus meter sebelum sampai di pondok saladah, kami mendaftarkan diri ke pengurus di sana. Kirain sudah sampai di sini bangun tendanya. Ternyata masih harus naik sedikit lagi.

“Semangat ya. Lima menit lagi kita sampai.” Ucap Kak Aida.

Lima menit sudah berlalu, sementara trek semakin sempit dan menanjak.

“Kak, ini udah lebih dari lima menit lho. Kok belum sampai?”Aku protes. Seperti anak kecil yang menagih janji ibunya untuk dibelikan boneka.

“Fera kalo capek istirahat aja.” Sahut Kak Ipank sambil menatapku dengan tatapan prihatin.

Lanjutan....

Sabar Fera, sedikit lagi sampai. Kuatkan lagi tekadmu. Atur nafas dengan baik. Bisikku dalam hati.

Sejauh mata memandang akhirnya aku bisa melihat beberapa tenda terpasang. Setelah melalui jalanan sempit dan menanjak yang persisi seperti melewati sebuah hutan, terlihat secercah cahaya. Matahari begitu terang dengan sedikit kabut yang masih setia. Kita sudah keluar dari hutan.

Setelah berkeliling akhirnya didapat area untuk mendirikan tenda. Sementara Bang Ipank mengeluarkan perlengkapan tenda, Jamila dan Zul yang asik foto-foto, aku langsung menghempaskan tubuh di atas rumput-rumput yang terasa dingin. Nyeeeeesss. Huuuuuuuft. Akhirnya sampai di pondok salada. Perjuangan luar biasa terbayar dengan pemandangan cantik, udara sejuk. Nampak beberapa awan begitu dekat jaraknya, bergerak perlahan, disusul awan lain. Selfie dulu ah. Hahaha.

----- bersambung-----

Komentar