Mt. Papandayan Is My First Love (Lanjutan)


Setelah membangun tenda lalu makan siang dan salat zuhur kami mendaki lagi. Tujuan selanjutnya adalah Hutan Mati dan Tegal Alun. Berbekal air mineral, cemilan secukupnya, dan sebanyak-banyaknya tekad kami berjalan menelusuri hutan-hutan, lalu sungai, dan bebatuan. Sekitar kurang dari sejam perjalanan kami sampai di kawasan Hutan Mati. Udara terasa hangat. Dari sini kita bisa melihat Pondok Salada yang dihiasi warna-warni tenda para pendaki. Terlihat sangat kecil, seperti titik-titik warna, merah, kuning, hijau, dan biru.

Karena Kawasan Hutan Mati begitu luas sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian ke Tegal Alun dan akan kembali ke Hutan Mati setelah turun dari Tegal Alun.

Lagi dan lagi nafasku mulai tersengal.

“Fera masih kuat nggak? Karena kita masih akan menanjak cukup lama. Kalau nggak kuat jangan dipaksa, kita main-main aja di hutan mati.” Ucap Bang Ipank.

Sementara keputusan lanjut atau tidaknya ada di tanganku dan otomatis jika aku bilang stop sampai di sini, aku nggak kuat, mereka juga akan berhenti di sini.

Wajah-wajah penuh harap, wajah-wajah yang seolah-olah mengatakan, “lanjut saja. Kamu pasti kuat. Kita selalu ada untukmu. Tegal Alun sudah menanti kita. Ayo semangat!”

Hening sejenak. Menunggu keputusan. Sementara yang lain bantu menyemangati.

Aku berpikir keras dan mengumpulkan seluruh keyakinan dan tenaga yang masih tersisa. Seketika terbesit di otakku tentang nasihat lama yaitu, kamu bisa jika kamu berpikir bahwa kamu bisa. Kamu kuat jika kamu berpikir bahwa kamu kuat. Namun, kamu akan menyerah jika kamu berpikir kamu tidak bisa.”

Akhirnya, aku memutuskan untuk LANJUT! Wajah-wajah cemas itu seketika berubah menjadi senyum yang merekah.

Perjuangan luar biasa untuk sampai di Padang Edelweis karena harus melewati tanjakan bernama “Tanjakan Mamang”. Tanjakannya terjal, curam, licin, dan sempit (lebar jalan tidak lebih dari setengah meter).

Biasanya di sini banyak pendaki yang terpeleset karena memang licin. Tanjakkan ini cukup menguras energi maka tidak jarang ada pendaki yang berhenti di tengah untuk istirahat sejenak atau mengabadikan momen dengan berfoto ria.

Setelah “Tanjakan Mamang” kita melewati jalur biasa, datar yang hanya beberapa meter dari sini akan terdengar suara orang-orang yang sudah lebih dulu sampai. Yap, kami telah tiba di Tegal Alun. Hamparan bunga Edelweis terbentang luas. Aku yang masih takjub dengan sensasi yang ada di Tegal Alun tak ngeh ketika Jamil memberikan beberapa kertas kosong dan spidol. Untuk apa ya kertas ini?

“Ini kertasnya, ambil aja beberapa, nanti sisanya kasih ke yang lain ya.” Ucap Jamil lalu beranjak pergi ke area lain. Aku membiarkannya pergi dan menyangka kalau dia mau bertafakur sejenak, mencari tempat yang agak sepi. Mungkinkah ini sisi lain dari seorang Jamil yang hobi foto-foto? Ucapku dalam hati.

Sementara aku yang masih terpaku, melihat betapa dahsyat pemandangan, udara dingin, dan kabut yang semakin tebal. Tak lama setelah itu zul datang, menghampiriku, meminta kertas, disusul Kak Aida. Sampai kertas itu habis, aku masih belum sadar ada apa dengan kertas itu.

Lalu Azmi nyeletuk, “Masih ada kertas lagi nggak yang kosong buat difoto? Nanti tulisannya biar bisa diedit-edit.”

Sementara Kak Aida terlihat sedang menuliskan ajakan kepada seseorang untuk datang ke sini, Tegal Alun. Dan aku baru tersadar bahwa kertas itu untuk dituliskan kepada orang-orang terdekat. Aku kehabisan kertas padahal tadi aku yang pegang banyak. Ckckck

Jamil? Aku melihatnya dari kejauhan. Ternyata dia bukan sedang bertafakur tapi malah asyik selfie dengan tulisan-tulisan yang ada di kertas itu. Hahaha.

Satu per satu mereka berfoto dengan kertas yang sudah dituliskan. Aku juga sempat diminta Jamil memotret dirinya dan kertanya. Sementara aku yang bingung kehabisan kertas, berusaha mencari apapun yang bisa dituliskan. Terbesit rasa syukur yang ingin kutulis di kertas itu.

Setelah satu per satu puas berfoto dengan kertasnya, Zul meminta kesediaan pendaki lain untuk memotret rombongan Batavia Publishing. Jepret! Jepret! Jepret! Selesai bernarsis ria dengan tiga gaya.

Hari semakin sore. Kabut semakin tebal. Udara semakin dingin. Kak Aida mengusulkan untuk beranjak dari sini, turun ke Hutan Mat, lalu kembali ke Pondok Salada. Aku masih mencari-cari kertas. Kebetulan aku lihat ada rombongan lain yang juga sedang berkumpul, menuliskan ini-itu. Aku mendekati mereka.

“Permisi akang-akang, wah lagi pada sibuk nih bikin ucapan di kertas. Ngomong-ngomong ini rombongan dari mana? Salam Kenal, aku Fera dari Jakarta. Oh iya, boleh minta kertasnya?”

Kami berkenalan. Lalu rombongan pendaki asal Tangerang itu dengan senang hati memberikan dua kerta berserta spidol.

“Kak sebentar ya, aku mau menuliskan sesuatu.” Pintaku soal waktu kepada Kak Aida.

Tanganku gemetar ketika menuliskan rasa itu di selembar kertas. Selesai. Aku meminta Azmi untuk memotret.

Kak Aida tersenyum melihat gayaku berfoto sambil menampilkan apa yang telah kutulis. Tersenyum melihat tulisan di kertas itu. Ia terlihat juga sedang membisikan sesuatu ke telinga Bang Ipank. Zul, menyusul memotretku. Dua kamera, dua fotografer, satu objek dengan tulisan “Terima kasih Allah ^_^” .

Terima kasih Allah, terima kasih Tegal Alun, terima kasih para Edelweis yang cantik, terima kasih Tanjakan Mamang, terima kasih udara dingin, terima kasih kabut, dan terima kasih teman-teman.

--------Bersambung---------

Komentar