Mt. Papandayan Is My First Love (Lanjutan 3)


Kami kembali turun dari Tegal Alun menuju area Hutan Mati yang lebih luas. Di sini tak kalah menakjubkan. Aku tambah terpukau dengan pesona kumpulan pohon-pohon yang sudah mati karena erupsi, mereka sudah tak bernyawa, menyisakan batang-batang pohon yang telah menghitam, hangus terbakar akibat letusan, namun masih tegap berdiri dengan ranting-rantingnya, membuat panorama yang begitu eksotis.

Lebih dari sejam rombongan Batavia Publishing berada di area Hutan Mati. Ada yang sibuk memotret setiap sudut bagian Hutan Mati, ada juga yang sibuk foto selfie, ada yang hanya menikmati suasana, merasakan setiap detik sensasi yang timbul dari area ini. Aku termasuk yang sibuk merasakan setiap detik sensasi menakjubkan dari Maha Karya Tuhan yang satu ini.

Tak terasa gelap pun jatuh. Udara dingin menerobos jaket tebal yang kukenakan bahkan hingga menusuk-nusuk tulang.

Menjelang di ujung malam api unggun sudah mulai berkobar-kobar, siap menghangatkan kami yang sudah mulai menggigil kedinginan. Kami berkumpul membentuk lingkaran, duduk mengitari api unggun, melakukan kegiatan sharing atau curhat atas apa yang telah dirasakan selama pendakian hari ini sekaligus membahas soal kegiatan menulis yang dipandu Kak Aida.

Azmi bercerita kalau dia dibohongi kakaknya soal larangan makan malam saat berada di gunung. Dia percaya dengan omongan sang kakak, padahal kakaknya sendiri belum pernah mendaki gunung. Tapi malah nasihat kakanya dilakukan, sehingga seminggu sebelum berangkat, di setiap malamnya dia tak pernah menyentuh makanan. Kasian. Berat badanya turun beberapa kilo. Tidak hanya karena itu, tapi dia juga setiap pagi lari tujuh putaran untuk pemanasan.

Zul bercerita soal pengalamannya naik gunung di Aceh bersama rombongan santri dan pembimbingnya (pak ustadz) yang nekat mengenakan sarung pada saat mendaki.

Jamil juga bercerita soal pengalaman camping bersama rombongan pramuka, dia sama seperti Zul, sudah terbiasa menghadapi medan terjal dan udara dingin pegunungan. Lihat saja mereka berdua kompak tak mengenakan jaket tebal malam ini. Sementara yang lain menggigil kedinginan.

Bang Ipang memberikan masukan soal pendakian diantaranya, sebelum berangkat lakukan olahraga teratur, tidur teratur, makan teratur, dan carilah informasi tentang gunung tersebut. Gunakanlah standar perlengkapan gunung lengkap (sepatu, tas dll), aturlah nafas dengan baik, aturlah langkah kaki dengan benar (langkah kecil-kecil), jangan terlalu banyak minum, dan senantiasa berdoa.

Kak Cimot menceritakan pengalaman pertamanya naik Gunung Salak ketika masih SMP. Dia bahkan bilang kalau pendaki saat ini beruntung karena sekarang jalur pendakian sudah ditata sedemikian rupa agar pendaki merasa lebih nyaman dan aman. Dia juga pernah mengalami kesulitan besar kala itu, namun semua bisa teratasi bahkan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan membuatnya ketagihan untuk naik ke dua puluh gunung lainnya.

Di sela sesi sharing Bang Ipang dengan baik hati membuatkan teh manis hangat. Semua menikmati suasana malam ini. Di sini juga banyak pendaki lain yang melakukan berbagai aktivitas seperti, bernyanyi, bermain, bercerita, dan kegiatan lain yang bisa mengalihkan dinginnya malam.

Angin mulai berhembus kencang, rintik-rintik air jatuh dari langit. Aku mulai khawatir dengan keadaanku sendiri, dan tiba-tiba saja aku teringat ucapan Kak Cimot (kejadian meninggalnya pendaki karena kedinginan).

Selesai diskusi aku izin istirahat di dalam tenda. Namun, percuma mataku tak bisa terpejam dan tubuhku tak bisa rileks. Tak lama Zul mengajak untuk memasak martabak mie. Namun yang terjadi malah jauh dari bentuk martabak mie dan rasanya juga asin pake banget. Semua tertawa melihat kegagalan kami memasak malam ini.

Lalu Zul dan Jamil balik ke dalam tenda. Istirahat. Aku hendak mengambil air ke tempat saluran mata air dekat toilet umum. Aku berjalan menggunakan headlamp di tengah malam yang dingin dan gelap namun masih ramai oleh suara dan lalu lalang pendaki lain. Di ujung malam, menuju pagi yang dingin akhirnya semua terlelap.

Dini hari. Hujan es, kabut tebal, dan suara para pendaki lain yang terdengar mulai ramai membangunkanku. Aku membuka tenda. Melihat sekitar yang hanya terselimuti kabut tebal. Jarak pandang hanya beberapa meter.

Setelah kabut dan hujan mulai meredam. Kami mulai beraktivitas kembali. salat, sarapan pagi, bersih-bersih badan, lalu siap-siap melakukan agenda pelatihan menulis bersama Kak Aida.

Kami diberikan materi seputar penulisan bertema Travelling. Lalu kami diberi tugas untuk menulis dengan tema yang sudah dipilih secara acak. Aku kebagian tema “Pondok Salada”. Aku menceritakan apapun yang berhubungan dengan pondok salada yang kuberi judul “Kehangatan di Pondok Salada”. Dua puluh menit semua peserta selesai mengerjakan tugas dan bersiap mendengar penilaian dari Kak Aida tentang masing-masing tulisan.

Penilaian diukur dari poin 5P 1H. Tulisan yang menarik harus menggunakan konsep 5P 1H(5 Panca Indera, 1 Hati). Semua peserta sudah cukup keatif menuangkan ide-idenya. Namun, dibutuhkan latihan rutin untuk dapat menghasilkan tulisan yang dahsyat dengan konsep tersebut.

Selesai penilaian, diumumkan tulisan terbaik dari yang terbaik. Dan ternyata tulisan dengan judul “Kehangatan di Pondok Salada” mendapat apresiasi lebih. Yap, aku bersyukur dengan apresiasi yang telah diberikan. Semoga aku bisa lebih baik dalam menulis. Terima kasih Kak Aida atas hadiahnya.

Selesai agenda pelatihan menulis, kami siap-siap untuk turun. Tepatnya setelah makan siang dan salat zuhur.

Siang hari. Kami turun melewati jalur Hutan Mati. Siang hari kabut tak terlihat. Pemandangan semakin eksotis tanpa kabut yang menghalangi, tebing-tebing menjulang tinggi, uap-uang belerang keluar dari dalam bebatuan, suara khas uap belerang yang keluar memanjakan telinga.

Luar biasa perjalanan turun kali ini. Di sisi kanan dan kiri kita bisa melihat dan merasakan betapa menakjubkan Maha Karya Tuhan yang berhasil disuguhkan begitu sempurna tanpa ada kabut yang menghalangi. Perjalanan yang bahkan terasa begitu cepat.

Pemandangan alam yang indah telah kurasakan, membuatku jatuh hati. Kapan-kapan aku akan kembali saat rindu menghampiri. Salam cinta untuk semua yang ada di sini.

Cinta memang butuh perjuangan. Perjuanganku untuk Papandayan adalah bukti cintaku. Inilah kisahku dengan cinta pertamaku. Mt. Papandayan Is My First Love.

Komentar