Ketidakadilan Gender di Era Demokrasi

Di zaman yang sudah modern ini kita dituntut dengan segudang kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Namun sejalan dengan hal tersebut semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi di tengah – tengah kita, seharusnya membuat masyakarat lebih terbuka secara wawasan dan keilmuan. Terlebih akses untuk mendapatkan informasi mengenai hukum dan sosial semakin mudah. Lalu mengapa masih terjadi kasus kekerasan pada perempuan dan anak?
Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini masih banyak masyarakat yang terisolasi secara keilmuan dan wawasan mengenai keadilan gender. Pola pikir yang masih sempit di tengah semakin luasnya akses informasi membuat masyarakat enggan untuk berbagi masalah hidup. Mereka beranggapan bahwa masalah keluarga yang kerap dialami oleh sebagian masyakarat dianggap aib yang tidak pantas diketahui oleh siapapun.
Masih maraknya tindak kekerasan psikis atau fisik yang dialami perempuan dan anak menjadi evaluasi bagi kita semua khususnya kaum intelek dan masyarakat pada umumnya untuk lebih peka terhadap kerabat yang tinggal dekat dengan lingkungan kita. Lalu bagaimana peran kita seharusnya dalam menyikapi hal tersebut?
Manusia dengan segala problematikanya yang kompleks saat ini membutuhkan ruang untuk “berbagi” apa yang dialami agar tidak menumpuk dan akhirnya membuat kondisi semakin parah. Sebagai contoh ketika ada anak korban “broken home” mengalami depresi dan akhirnya melampiaskan ke hal – hal yang menyimpang lalu terjadilah kekerasan kepada dirinya sendiri atau orang lain. Tentu akar permasalahannya di sini di awali dari kedua orangtuanya. Terlebih ketika perceraian tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakadilan gender.
Banyak faktor yang dapat memicu terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan, seperti faktor ekonomi, sosial dan budaya. Namun, jika kita ambil benang merahnya maka dapat disimpulkan bahwa kurangnya pengendalian emosi dan pikiran dari seseorang terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga melampiaskan dengan cara yang salah.
Pentingnya pengendalian diri pada setiap manusia adalah modal kita dalam menyikapi permasalahan hidup. Keterlibatan lembaga – lembaga pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang kompleks ini sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Semua lembaga harus dapat bekerjasama dalam mensosialisasikan tentang pengendalian diri dan keterkaitannya dengan keadilan gender, baik itu dari lembaga keagamaan, lembaga sosial, hukum dan sebagainya.
Program – program yang disusun dari setiap lembaga harus dapat menyentuh langsung masyarakat lapisan bawah yang sering terisolir dalam mengakses keilmuan. Bahkan program tersebut harus ada pada setiap lembaga khususnya lembaga keagamaan, lembaga sosial dan lembaga hukum.
Penghapusan konsep bahwa perempuan adalah kaum yang lemah atau "second class society" harus segera dibuang dari pikiran masyarakat. Kaum perempuan adalah kaum yang mandiri yang memiliki potensi sama dengan laki – laki bahkan bisa lebih unggul. Namun, beda soal ketika kita mengkorelasikan dengan agama yaitu, laki – laki adalah pemimpin. Hal ini perlu kajian khusus yang mendalam agar tidak terjadi distorsi dalam pemahaman tersebut.

Komentar