Islam dan Fundamentalisme


Semua kaum Muslim mengakui bahwa ajaran Islam bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadis, dua sumber yang bersifat transeden dan mengatasi ruang dan waktu.
Namun suatu telaah terhadap Islam tentu tidak dapat hanya dengan memahami kedua seumber yang transeden itu, sebab suatu ajaran senantiasa mengalami proses aktualisasi ke dalam realitas sosial para penganutnya. Aktualisasi doktrin ke dalam realitas sosial penganutnya itulah yang disebut dengan corak keberagamaan (religiositas) kuam muslimin.
Corak keberagamaan senantiasa dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, faktor internal yang meliputi kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin agama yang bersangkutan. Kedua, faktor eksternal, yang meliputi pengaruh orang-orang penting di sekitarnya, termasuk guru-gurunya, keterlibatannya dalam sejarah etnik, budaya, dan faktor-faktor ekonomi serta politik.
Sepanjang sejarah Islam telah muncul corak keberagamaan yang tidak terbilang banyaknya, bahkan nyaris sejumlah kelompok yang menganut agama itu. Mulai dari kelompok yang menekankan aspek legal formal yang dikembangkan para fuqaha’, kelompok yang menekankan aspek spriritualitas, para sufi, sampai pada kecenderungan tradisionalisme dan modernisme , yang muncul beberapa abad terakhir. Dan, yang menarik dari kemunculan corak beragama tersebut adalah bahwa sering kali kemunculan yang satu sering diklaim merupakan alternatif, jika bukannya merupakan counter terhadap yang lain.
Ciri utama fundamentalisme adalah interpretasi mereka yang rigid (kaku) dan literalis (harfiah) terhadap doktrin agama. Ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) penafsiran seperti itu penting menurut mereka demi menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaanya, (2) diyakini bahwa penerapan doktrin secara utuh (kaffah) merupakan satu-satunya cara dalam menyelamatkan agama dari kehancuran.
Penafsiran rigid dan literalis tersebut terlihat paling tidak dalam tiga hal. Pertama, memandang cakupan doktrin agama. Kedua, kedudukan sistem pemerintahan yang diselenggarakan Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Ketiga, dalam memandang kemajemukan masyarakat.

Memandang Cakupan Doktrin Keagamaan

Kaum fundamentalis dan modernis sama-sama berkeyakinan bahwa doktrin agama sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadis adalah doktrin yang universal, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Namun, keduanya berbeda dalam menginterpretasikan universalitas Islam dan arti mencakup segala spek kehidupan manusia.
Bagi kaum modernis universalitas itu adalah prinsip-prinsip umum yang disimpulkan melalui perenungan intelektual (ijtihad) mengenai doktrin serta kajian ilmiah terhadap kehidupan sosial masyarakat di dunia ini. Adapun perinciannya dapat diserahkan kepada pertimbangan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi.
Metode berpikir seperti ini memang sangat sukar diterima oleh kaum fundamentalis, sebab dapat berimplikasi pada pengadopsian sistem yang diproduksi Barat, untuk kajian-kajian dan bahkan konstitusi-konstitusi keislaman. Oleh karena sebab itu, kaum fundamentalis memandang bahwa kaum modernis sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap terjadinya sekulariasasi di dunia Islam karena pengaruh Barat, seperti pernah ditulis Fazlur Rahman: “Fundamentalisme post modernis ekarang, dalam skala penting adalah baru, karena antuasiasme dasarnya adalah anti-Barat. Isu kesukaan neofundamentalis adalah larangan atas bunga bank, keluarga berencana, kedudukan wanita, pengunpulan zakat, dan seterusnya hal-hal yang membedakan Islam dengan Barat. Sementara kaum modernis terkait dengan Barat.”
Dalam memandang cakupan doktrin itu kaum fundamentalisme menafsirkan bahwa seluruh doktrin adalah universal dan berlaku tanpa dibatasi ruang dan waktu. Proses intelektualisasi menjadi tidak penting. Fundamentalis lebih menekankan ketaatan dan kesediaan menundukkan diri kepada kehendak Tuhan, dan bukan perbincangan intelektual. Oleh karenanya, sering kali kaum fundamentalis berhujjah bahwa yang lebih penting lagi bagi mereka adalah “iman” dan bukan “diskusi”. Iman justru membuat orang mengerti dan bukan mengerti yang membuat orang menjadi beriman.
Rasionalitas menurut kaum fundamentalis pada umumnya cenderung hanya menjadi alat untuk melegitimasi keinginan nafsu dalam mempermudah agama. Menurut mereka yang paling penting adalah memelihara sikap “militan” dalam menegakkan agama, dan bukan memelihara semangat intelektualisme yang cenderung membuat orang tidak berbuat apa-apa.

Kedudukan Sistem Pemerintahan yang Diselenggarakan Nabi Muhammad SAW

Keinginan untuk melakukan idealisasi terhadap zaman awal Islam, pada masa Rasul dan para Khalifah nan saleh, namun menempuh cara yang berbeda-beda. Kaum modernis menekankan bahwa yang harus ditiru dari zaman awal itu adalah prinsip-prinsipnya yang universal, struktur pemerintahan pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rasyidun tidak perlu dijelmakan kembali dalam bentuk aslinya tetapi hanya prinsip-prinsipnya, seperti tanggung jawab, musyawarah, keadilan, dan sebagainya. Sementara aplikasinya dapat disesuaikan menurut kondisi zaman.
Berbeda dengan itu kaum fundamentalis secara rigid ingin menegakkan pemerintahan zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa a-Rasyidun itu sebab dipandang sebagai sesuatu yang berlaku untuk semua zaman dan kondisi.
Begitulah, kaum modernis tidak memandang penting menegakkan simbol-simbol yang bercorak distingtif akan tetapi senantiasa memikirkan bagaimana caranya agar prinsip-prinsip Islam dapat menjiwai kehidupan masyarakat dan negara. Kaum fundamentalis sebaliknya, ingin menegakkan simbol-simbol itu, sebab mereka menganggap Islam adalah sebuah sistem yang lengkap dan mencakup berbagai sistem di dalamnya, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya.

Sikap Memandang Kemajemukan Masyarakat

Kaum fundamentalis cenderung bersifat negatif terhadap kemajemukan masyarakat. Mereka membedakan secara tegas dua jenis masyarakat; masyarakat Islam dengan masyarakat jahiliyah. Perbedaan antara keduanya jelas, yang satu haq dan yang lain bathil. Sementara Al-Qur’an melarang untuk mencampuradukkan antara keduanya. Dengan demikian, mereka sangat menutup diri terhadap sumbangan peradaban lain, sungguh pun tidak selamanya dilaksanakan secara konsisten. Kebaikan tidak perlu diambil dari masyarakat jahiliah yang bercorak “kafir” dan thaghut itu. Kaum fundamentalis sangat terbiasa dengan ata-kata menjalankan Islam secara kaffah dan untuk itu keadaan masyarakat selalu harus dikembalikan seperti zaman Nabi dan para sahabat.
Analisis di atas memperlihatkan bahwa fundamentalisme muncul sering kali disebabkan sikap oposisi dan kecemburuan sosial, dan tidak membangun suatu kerangka intelektual yang canggih seperti yang dilakukan oleh kaum modernis atau neo-modernis. Oleh karenanya fundamentalisme akan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat yang sulit berkembang akibat adanya penguasa yang tidak begitu peduli pada keadaan sosial, dan di tengah masyarakat yang tidak berkembang cara berpikir ilmiah dan cara hidup rasional.

Referensi :
1. Bruce Lawrenc. 1990. Defenders of God: The Fundamentalist Revolt Againts the Modern Age. New York: I.B. Tauris.
2. Fazlur Rahman. 1984. Islam and Modernity: Transformational of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.
3. Yusril Ihza Mahendra. Fundamentalime sebagai Corak Keagamaan.(KKA 74/Tahun VII/1993).
4. Abdul A’la al-Maududi. 1981. Mu’asiyat al-Islam. Lahore: Pan Islamic Publisher.
5. Sayyid Qutb. 1976. Ma’allim fi al-Tarikh. Kuwait: Lifso.

Komentar