EMBUN DI SURGA DAN LANGIT DI BUMI

Oleh : Fera

Menerima, memaafkan, tapi tidak melupakan adalah proses yang sulit dan menyakitkan bagi seindah-indahnya jiwa. “Tersenyum dan berbahagialah engkau Embun dan jadilah secantik-cantinya bidadari Tuhan di surga.”

Panasnya terik matahari yang menyelimuti kota Jakarta siang ini. Tidak sepanas hati Pak Johan. Setelah kehilangan putri sulungnya. Jiwanya bagai tercabik-cabik oleh setiap kata dan perbuatan yang ia lakukan terhadap Embun ketika masih hidup. Beribu-ribu air mata dan penyesalan tak membuat Embun kembali untuk selamanya.

Enam tahun yang lalu….

Terlahir dari rahim seorang ibu. Ia nampak sangat cantik dengan kulitnya yang putih, rambutnya yang pirang, dan bergelombang. Kedua orang tua, sanak saudara, bahkan dokter dan suster yang bertugas dalam persalinan sangat bahagia menyambut kelahiran malaikat kecil ditengah-tengan kehidupan mereka. “Alhamdulillah ,selamat! Bayi bapak terlahir dengan fisik yang sempurna, cantik, dan lucu,” ungkap seorang dokter kandungan. Saat itu Ibu Lena dan Pak Johan adalah orang yang paling bahagia di dunia menyambut anak pertama yang sudah dinanti sejak dua tahun pernikahan mereka. “alhamdulillah, akhirnya kita dikasih momongan ya pak,” Ibu Lena tersenyum lega mengungkapkan rasa bahagia luar biasa kepada suami. Sambil menggendong bayi yang mereka beri nama Embun Cahaya Putri, Pak Johan membalas dengan senyum bangga memandang bayinya yang masih suci itu.

Setahun kemudian…

Embun tumbuh menjadi anak yang sangat lucu, menggemaskan, tapi tidak rewel, ia seakan tahu bagaimana menyikapi suasana demi suasana. Anak yang manis. Tersenyum. Aku sebagai tetangga dari keluarga Pak Johan pun merasa senang melihatnya.

Saat itu ibu sedang mengandung anak yang nanti setelah lahir akan merubah posisiku sebagai anak bungsu dikeluarga kami. Menjadi anak terakhir itu menyenangkan, lebih dimanja, diperhatikan, dan dibela kalau sedang bertengkar dengan kakak. Tapi, mendapatkan adik bayi yang lucu pun aku sangat tidak keberatan. Aku tersenyum.

Sebulan lagi ibu akan melahirkan malaikat kecil yang akan terdaftar menjadi anggota keluarga kami. Dokter memastikan bahwa bayi yang lahir adalah berjenis kelamin laki-laki. Semua anggota keluarga sangat senang dan terharu karena sudah lama menanti bayi laki-laki. Akhirnya, bayi tampan itu lahir dengan sempurna. Ayah dan ibu sepakat untuk menamainya, “Langit”. Tanpa embel-embel dibelakangnya. Unik dan langka.

“adikku yang tampan namamu sungguh indah, kejar dan gapailah cita-citamu setinggi langit, Langit!” ia tersenyum menatapku, seakan mengerti dan meng-iya-kan omongan kakaknya. Bayi yang pintar. Gemas sekali aku melihatnya. Embun, bayi yang tidak rewel dan tidak sering menangis dibanding Langit. Aku merasa ada yang tidak wajar dengan pertumbuhan Embun saat itu. Ia sering sakit-sakitan hingga harus bolak-balik dibawa ke klinik. Kasihan Pak Johan dan Bu Lena. Terlebih saat itu Bu Lena sedang mengandung anak keduanya. Pada suatu tengah malam, aku dan keluarga mendengar pertengkaran hebat dari dalam rumah pak Johan. Mereka berdua bertengkar sambil menyebut-nyebut nama Embun.

“tubuhnya panas dan badannya menguning, Embun kenapa Pak?“ Keluh Bu Lena.

“saya akan membawanya ke klinik sekarang juga, dasar kau anak yang selalu menyusahkan orang tua!” dengan raut muka yang penuh amarah Pak Johan berlalu ke luar rumah dengan menggedong Embun. Mereka pergi entah kemana, mungkin ke klinik. Sementara aku mengintip dari jendela, melihat Bu Lena sedang menangis sambil mengelus-ngelus perutnya yang semakin membesar. “ya Allah, berilah mereka kesabaran dalam menghadapi cobaan ini.”

Langit terbangun dari tidurnya dan menangis kencang saat mendengar pertengkaran mereka. Ibu memberinya susu dan menimang-nimang hingga ia kembali tertidur. Bayi yang pintar. Aku tersenyum.

Minggu pagi aku merawat Langit dirumah karena pada saat itu ayah dan ibu sedang pergi ke pasar. Sementara kakak sedang sibuk dengan skripsinya. Sekali-dua bercanda dengan aku dan Langit. Kak Maya yang pada saat itu sedang menempuh kuliah semester 8 di sebuah perguruan tinggi negeri di depok. Setelah lulus ia akan mendapat gelar sarjana psikologi. Dalam menulis skripsi, ternyata ia mengambil kasus tentang anak penderita kelainan down syindrom atau keterbelakangan mental. Sementara aku masih duduk di kelas X SMA. Perbedaan umur yang amat jauh antara Kak Maya, aku, dan Langit. Aku tersenyum.

Tiga tahun kemudian …

Embun, gadis malang yang ternyata mengalami gejala down syndrome. Ia sering dimarahi, dibentak, bahkan dipukul oleh ayahnya sendiri karena sikapnya yang lamban saat di ajari sesuatu. Sementara ibunya sibuk mengurus adiknya yang masih balita. Mungkin Pak Johan merasa kecewa, kesal, dan malu karena anak yang telah di nanti selama dua tahun dan dibanggakan itu ternyata mengalami keterbelakangan mental. Padahal Embun masih bisa disembuhkan dengan terapi dan didukung dengan lingkungan tempat tinggal yang baik. Bahkan Kak Maya berniat mengajak keluarga Pak Johan untuk melakukan berbagai terapi kepada Embun. Namun, Pak Johan menolak dengan alasan tak ada biaya dan tak ada waktu. Alhasil, karena perlakuan kasar yang Pak Johan berikan selama ini justru memperparah keadaan Embun.

Aku sering mengajaknya bermain bersama Langit di halaman rumah. Kak Maya juga ikut bergabung memberikan berbagai permainan yang menyenangkan. Hanya Kak Maya yang pada saat itu dapat mengerti dan berkomunikasi sangat baik dengan Embun. Walaupun Embun mengalami gejala down syndrome, ibu dan ayah tidak pernah melarang kami untuk bermain dengannya atau menjauhinya. Aku tersenyum.

“ayo, sini sekarang giliran kamu embun yang bernyanyi,” Kak Maya membujuk.

“kak Embun, kak Embun ayo nyanyi,” Langit protes. Karena sejak tadi ia terus yang bernyayi.

Dengan bujukan dan rayuan maut Kak Maya, akhirnya Embun mau bernyanyi. Walau masih terbata-bata ia merasa senang melakukannya. Aku tersenyum.

Tak lama saat kami sedang bermain. Pak Johan datang. Memanggil dan mengajak Embun untuk makan siang. Dengan tegas ia memanggil Embun. Sungguh aku khawatir dengan perlakuan Pak Johan. Embun menggeleng dan raut wajahnya menampakkan ketakutan seolah meminta perlindungan kami.

“waktunya makan siang ya adik-adik, mainnya sudah dulu nanti kita lanjutkan lagi,” aku memberikan aba-aba.

“Embun, nanti kita main lagi ya sayang, sekarang kamu makan dulu sama bapak,” Kak Maya membujuk. Embun mengangguk tanda setuju. Akhirnya Embun pulang dan kami masuk ke dalam rumah. Makan siang.

“aaaaampuuuun baapaak….aaaampuuuuun…” Embun menjerit kesakitan. Telinganya dijewer oleh Pak Johan karena gak mau makan.

“Kak Bunga, Langit mendengar Kak Embun menjerit!”

“ssstt, selesaikan dulu makan mu Langit…baru boleh bicara, ya.” Kami mendengar dengan jelas teriakkan Embun dan Pak Johan saat sedang makan siang.

“dasaaaar anak bodoh, disuruh makan saja gak mau! Ayo makan cepat. Nanti kalau kamu sakit, bapak juga yang repot!”

“bapak! sudah. Jangan membentaknya terlalu keras. Malu didengar tetangga.” Bu Lena menampih.

“halaaah, cape saya mengurusnya. Kau sajalah yang mengurusnya. Biar saya yang menjaga Della.”

Bu Lena mengalah dan mengambil alih untuk mengurus Embun saat itu.

Sementara Embun masih menangis, peluh, sesak didadanya saat bapaknya membentak, menjewer dan mencoba untuk memukulnya. “maafkan Embun, Pak,” suara lirihnya terdengar sangat pelan hampir tak terdengar. Sungguh gadis manis yang malang.

Della Oktaviani, putri kedua Pak Johan dan Bu Lena. Adik Embun yang paling dimanja dan disayang oleh kedua orang tuanya. Ia lebih pintar dalam melakukan segala hal dibandingkan Embun. Kakak beradik itu sering terlihat tak akur. Orang tuanya sering membela Della dan memarahi Embun. Pernah pada suatu hari mereka terlihat sedang bermain dihalaman lalu bertengkar.

“bapak, kak Embun tuh nakal!” Della mengadu.

“ada apa Della sayang? Kamu diapakan sama Embun?” “Kak Embun mau ngambil boneka aku pak,” boneka yang baru di belikan Pak Johan.

“Embun hanya ingin pinjam sebentar pak,” kepalanya menggeleng. Embun berusaha untuk menjelaskan.

“pak.. kenapa Della punya boneka yang banyak dan lebih bagus dari Embun? Embun mau pinjam sebentar, Embun mau lihat.”

“jangan ganggu adikmu yang sedang bermain, Embun harus mengalah dengan Della, kamu sudah besar. Tidak pantas memainkan boneka lagi. ” Pak Johan bersikap tak adil.

Mata Embun berkaca-kaca lalu pergi ke kamar meninggalkan Della dan Pak Johan. Aku menghela nafas. Sedih mengingatnya. Sejak kecil Embun jarang dibelikan boneka. Tidak seperti Della yang selalu dituruti keinginannya.

Karena umurnya yang sudah 4 tahun lebih 2 bulan maka Embun didaftarkan ke sebuah taman kanak-kanan dekat rumah. Sebenarnya, pihak sekolah tidak membolehkan Embun bergabung di TK tersebut dan menyarankannya untuk dimasukkan saja ke sekolah luar biasa (SLB). Namun, Kak Maya saat itu datang membujuk dan menjelaskan bahwa Embun masih bisa seperti anak normal lainnya. Setelah mendapat penjelasan dari Kak Maya yang seorang psikolog. Dengan lulusan sarjana coumloud, Embun akhirnya dapat berlajar dan bermain di TK tersebut.

“Langit, aku ke sekolah dulu ya…nanti kita main lagi,” Embun tersenyum girang. Ia terlihat antusias menuju taman kanak-kanak diantar oleh Bu Lena.

“da-daah kak embun…” Langit melambaikan tangannya.

“ibu, aku juga mau sekolah kaya Kak Embun,” Langit protes kepada Ibu.

“iya, sayang…tahun depan kamu boleh sekolah seperti Kak Embun.” Aku tersenyum melihat tingkah lucunya.

Embun adalah gadis kecil yang cukup pandai untuk ukuran penderita gejala down syndrome. Ia sungguh tak boleh dikekang atau dibentak bahkan sampai dipukul. Hanya kasih sayang yang tulus dari orang-orang terdekatlah yang akan membuatnya sembuh. Insya Allah. Kita memang harus lebih bersabar dalam mengasuh dan merawatnya. Berdoalah agar Ibu dan Bapak senantiasa diberikan kesabaran dalam menghadapinya. Hal tersebut diungkapkan Kak Maya kepada Bu Lena saat berada di taman kanak-kanak. Aku menghela nafas.

Hari pertama masuk TK. Embun terlihat seperti anak-anak lainnya. Ia bermain kesana kemari. Bernyanyi walau masih terbata-bata. Semua itu adalah proses yang harus dilaluinya untuk dapat menyesuaikan dengan anak-anak normal.

Ia agak sedikit lambat dalam berpikir maupun bertindak dibanding dengan teman-temannya. Apalagi jika sedang latihan membaca dan berhitung. namun, Embun lebih suka menggambar. Jika ia disuruh menggambar oleh Bu Amel, wajahnya tampak riang dan antusias dan jika ia sudah menggambar sungguh hasilnya jauh lebih bagus dari anak-anak se-usianya. Itulah kelebihannya. Harus didukung penuh. Setelah masuk TK. Embun lebih sering menghabiskan waktunya untuk menggambar. Seolah gambar tersebut hidup untuk mengungkapkan segala hal yang sedang ia rasakan. Menggambar suasana rumahnya. Ada Pak Johan, Bu Lena, Della, dan dia sendiri. Dalam gambarnya, Embun nampak menyendiri dari anggota keluarga yang lain. Ia terlihat sedang bermain bersama boneka Barbie yang selalu ia inginkan. Sementara yang lain sedang berkumpul di meja makan.

Embun yang memiliki keterbatasan mental tidak dapat lulus dalam waktu satu tahun. Ia harus mengulang kembali pelajaran di TK tersebut. Langit yang setahun kemudian menyusul Embun belajar di TK itu. Mereka bertemu dalam satu kelas.

____bersambung___

Komentar